Dua Rasa di Hari Ulang Tahun

Senin kemarin, 2 Februari 2015. Nyokap kembali berulang tahun. Syukur alhamdulillah, karena dimomen yang berbahagia itu, nyokap sudah dalam kondisi sehat wa al afiat, jadi gue senenglah rasanya. Maklum, beberapa bulan yang lalu, nyokap sempat jatuh sakit. Yang membuat dia harus beristirahat total dari aktivitas rutinya selama beberapa hari.

Di hari ulang tahun nyokap kemarin, ada sedikit perubahan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kalo tahun kemarin, gue yang biasanya bikin surprise. Nah, untuk tahun ini, gantian adik gue yang bikin surprise. Gue cuma ikut meramaikan acara (baca: ngabisin kue dan foto-foto) #ContohKakakYangBaik.

Pake jilbab ijo itu nyokap, di belakangnya itu satpam sekolah

Sampai sekarang, gue sendiri belom kasih kado apa-apa ke nyokap (Baikkan gue?). Bukan, bukan gak mau kasih, cuma gue sendiri bingung mau kasih kado apa. Namun, gak mungkin juga gue nggak ngasih kado. Karena gue nggak mau dikutuk jadi batu cincin oleh nyokap, hehe. Paling gue nyari kadonya nanti, saat gue ke Lampung.

Yoi, tanggal 8 Februari nanti, gue bareng temen-temen sekelas bakal ke Lampung nih. KITA SEMUA LIBURAN RAME-RAME. MELUPAKAN SEJENAK APA ITU SKRIPSI. Asoy bangetkan! HAHA.

Walaupun belom sempat kasih kado dalam bentuk fisik, tapi gue udah kasih kado duluan lewat doa. Doa gue pun nggak banyak, gue cuma minta semoga nyokap selalu dalam kondisi yang sehat segar-bugar dan panjang umur. Terus satu lagi, kalo bisa harga Iphone six turun, seharga beli kacang rebus gitu. Ya, itu aja sih doa gue. Semoga di-ijabah. Aamin.

Dibalik kebahagian hari ulang tahun nyokap kemarin, ada insiden yang memilukan kami sekeluarga.

Sehari sebelum nyokap ulang tahun, keluarga gue dapet kabar bahwa anak dari salah seorang sepupu nyokap, ada yang jatuh sakit. Kejadiannya terjadi pada hari Minggu pagi.

“Kak, Ibu pergi dulu, ya.” terdengar suara nyokap dari luar kamar.

“Emang mau ke mana, Bu?” jawab gue sambil merem sembari ngelap iler.

“Ibu mau pergi, nyari batu cincin!” celetuk ibu.

“Ah, serius?!” sahut gue kembali, kemudian bangkit dari tempat tidur.

“Ya, enggaklah, Kak. Ibu mau kerumah sakit, mau jenguk sepupu.” Ibu ngomong sambil dandan depan kaca, benerin jilbab.

“Oh, bagus deh. Habisnya kalo mau beli batu cincin, nggak usah sama orang lain. Sama kakak aja, Bu, stock ada banyak nih.” Sambil nyengir ala kuda lagi kasmaran.

“Uhuk… uhuk!” ibu keselek jarum pentol untuk jilbabnya.

….

Sore harinya nyokap pulang ke rumah. Tampak, nggak ada raut muka gembira sedikit pun dari wajah nyokap. Belum masuk rumah, gue sudah menghampiri nyokap dan bertanya banyak hal.

“Bu, gimana tadi?” tanya gue penasaran.

Dengan nada suara kecil, ibu menjawab. “Sedih, Kak"

“Emang sakit apa, Bu?” tanya gue kembali.

Kali ini nyokap menjawab dengan nada suara yang sangat besar. “EH, KURAP BRAD PITT, BUKAIN DULU PINTU PAGER! NGOBROLNYA DI DALEM RUMAH AJA?!!” wujud ruba ekor 9 dalam diri nyokap pun muncul.

Saking antusiasnya, gue lupa kalo nyokap belum masuk rumah. “I.. ii.. iya, Bu. Maaf, maaf. Hehehe.” kata gue sambil membuka pintu pager.

Baru beberapa detik masuk rumah. Gue kembali mengintrogasi nyokap. “Yang tadi jadi gimana, Bu?”

“Ya, ampun, Kakak. Nggak sabaran banget sih. Nanti malem kan, bisa ibu ceritain!” sahut nyokap sambil duduk di kursi ruang tamu sembari ngelepas jilbab.

“Nanggung, Bu. Ceritain sekarang aja.” Kata gue, sedikit maksa.“

Narik nafas panjang, kemudian nyokap menceritakan semuanya. “Baiklah. Jadi, anak sepupu dari keluarga ibu, dia itu kena sakit kanker getah bening, Kak.”

“Astagfirullah! Beneran, Bu?” jawab gue agak shock sambil buka google nyari tahu tentang penyakit itu.

“Iya, Kak. Ibu serius!”

Gue pengen berhenti bertanya, tapi masih penasaran banget. Saat itu, gue mendadak udah kayak wartawan tak tahu diri.

Pokoknya, nyokap cerita panjang lebar dan gue jadi ikutan sedih mendengarnya. Sepupu gue yang sakit itu masih duduk dibangku kelas 2 SMA. Yang membuat nyokap makin sedih adalah ketika dia menjenguk, kondisinya sudah memprihatinkan banget. Dia cuma bisa mendengar, tapi tidak bisa melihat lagi. Penyakitnya telah membuat bagian matanya jadi agak membengkak. Sedih deh gue.

Nggak mau terlalu larut dalam suasana sedih. Gue coba untuk merubah suasana.

“Tapi, nggak lama lagi, dia akan sembuh, kan, Bu? Eh, nanti makan pecel lele ditempat langganan, yok?”

“Insyallah, Kak. Kita doain saja, semoga Icha cepet sembuh. Kamu ajak yang lain saja. Ibu lagi nggak nafsu makan” Jawab ibu dengan nada suara sedih.

“Iya, Bu. Aamin” jawab gue datar. Usaha gue sia-sia.

…

Sore hari, pada tanggal 2 Februari 2015. Saat lagi asyik, santai-santai nonton TV di rumah, tiba-tiba saja nyokap kembali mendapat kabar dari keluarga yang lagi ada di rumah sakit. Via telephone, mereka bilang bahwa kondisi Icha dalam keadaan kritis.

“Ibu mau jenguk lagi, Kak.” kata nyokap.

“Pergi sekarang?” tanya gue.

Sambil masuk kamar, ibu jawab. “Iya, kondisi Icha sudah kritis sekarang.”

“Kakak ikut ya, Bu?”

“Nggak usah, kamu jaga rumah aja. Biar ibu sama adik yang jenguk.”

Sebagai anak yang baik, gue menurut aja. Tapi, mendengar ibu ngomong kalo kondisi Icha lagi kritis. Ya, gue jadi sedih. Gue cuma bisa berharap dan berdoa semoga sepupu gue disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Serta nyokap dan adik gue pulang ke rumah dengan keadaan selamat.

Sekitar jam 10 malam, ibu pulang. Untung saja malam itu, Palembang lagi tidak hujan. Kecemasan gue setidaknya nggak jadi bertambah. Kali ini, gue nggak mau tanya-tanya lagi. Gue mau nunggu aja, biar nyokap sendiri yang menceritakannya ke gue.

Lagi guling-guling di kamar, nyokap datang ke kamar gue. Dan dengan suara yang lemas, nyokap mulai menceritakan apa yang terjadi pas dia jenguk tadi sore. Selama nyokap cerita, gue nggak ngeluarin satu kata pun.

“Kak, kondisi Icha sudah bener-bener kritis sekarang. Dokter bilang kankernya telah menyerang organ dalam tubuh. Ibu sedih, Kak”

“…”

“Tadi juga, sudah banyak sanak keluarga kita yang dateng menjenguk dia…”

“…”

“Icha juga sempat bilang ‘ingin pulang’ dan pengen kembali sekolah. Dia kangen teman-temannya”

“…”

Selama nyokap bercerita, pikiran gue menjadi bercabang. Gue nggak tahu harus ngomong apa, gue takut salah omong. Malam itu, sungguh bertolak belakang banget. Yang harusnya nyokap bahagia karena itu adalah hari ulang tahun dia, tapi di sisi yang lain, dia malah harus mendapat berita duka seperti itu.

….

Rabu pagi, tanggal 3 Februari 2015. Gue dibangunkan secara mendadak oleh nyokap. Jujur saja, semenjak jadi mahasiswa semester akhir ini, gue jadi jarang banget bangun pagi, nyokap juga sudah nggak pernah lagi bangunin gue. Kalopun gue bangun pagi, berarti ada suatu hal yang penting banget.

“Bu, ada apa ini? Tumben bener?” ngomong sambil mata terpejam.

“Kak, Icha sudah meninggal!” kata ibu.

“Hah? Serius, Bu?!!” mata yang tadi terpejam kini melotot.

“Iya, kak…” ibu sedih.

“Innalillahi wa’ inailahi rojiun…” ucap gue, datar.

Ya, ternyata Tuhan begitu sayang sama Icha, sehingga dia diajak pulang duluan. Dan kata ‘ingin pulang’ yang dia ucapkan malam itu, ternyata pulang yang seperti ini (mungkin). Gue nggak tahu mau ngomong apa, yang pasti gue sedih. Dan sekarang, gue cuma bisa berdoa dan berdoa, semoga almarhuma mendapat tempat terindah di sisi-NYA dan segala amal ibadahnya dapat diterima oleh NYA. Aamin.

Uhm..

Emang hidup kita nggak pernah ada yang tahu. Apa yang akan terjadi sekarang, besok dan masa yang akan datang. Ya, semuanya Allah sudah yang ngatur. Kayak yang keluarga gue alami ini, gue nggak tahu kalo jadinya ulang tahun nyokap harus diselimutin oleh dua rasa yang berbeda.

Well, apakah kalian pernah mengalami momen yang seperti ini? Share aja ya :’)

Tweet

Subscribe to receive free email updates: